Media arus utama melaporkan: sampai April 2025 tercatat sekitar 47.300 kasus kecelakaan kerja—naik ±12% yoy. Angka kuartal awal juga menunjukkan kenaikan ~9,4% vs periode sama tahun lalu, dengan konstruksi/manufaktur/pertambangan paling terdampak. Ini bukan sekadar angka; ini alarm buat manajemen yang masih mengandalkan slogan safety.
Challenge kerasnya: kalau setiap investigasi ditutup dengan “human error”, organisasi nggak belajar apa-apa. Error itu gejala; akar masalah biasanya di desain kerja, tekanan throughput, pelatihan yang tick-the-box, kontrol teknik yang nggak memadai, atau jadwal lembur berkepanjangan.
Solusi cepat 60 hari:
- Re-baseline risiko: pilih 10 critical tasks, lakukan JSA ulang, tambahkan engineered control ketimbang hanya PPE.
- Learning reviews untuk 5 near-miss terakhir—tanpa mencari kambing hitam. Tanyakan: kondisi apa yang membuat kesalahan jadi mungkin?
- Fatigue management: batasi jam kerja mingguan & jeda minimum antar shift; ukur korelasi overtime dengan near-miss.
- Verifikasi kualitas lockout/tagout (LOTO), working at height, confined space. Audit bukan di meja; turun ke lantai produksi.
- Perpendek siklus corrective action: target 80% closed ≤14 hari; temuan yang macet >30 hari harus diekskalasi ke direktur operasional.
Komunikasi ke pekerja: “Kita nggak nyalahin orang, kita benerin sistem.” Dampak yang dicari: near-miss naik (karena pelaporan membaik), lalu turun stabil bersamaan dengan corrective action closure membaik.
Catatan data pendukung biar nggak gaslighting: simpan baseline 2024 (Kemnaker catat ratusan ribu kasus dalam setahun) untuk bandingkan tren internalmu. Tujuannya bukan “angka cantik”, tapi kurva leading indicator (pelaporan hazard, tindakan korektif) yang sehat.
