Empat hari terakhir ini, Jawa Barat ngeluarin Surat Edaran Gubernur tentang penyediaan ruang makan/kantin sehat bagi pekerja sebagai bagian dari optimalisasi K3. Intinya: perusahaan diminta serius soal akses makan yang bersih, layak, dan sehat di tempat kerja. Bagus? Iya. Tapi kepatuhan administratif doang itu gampang; yang susah—dan penting—adalah bukti dampak ke absensi, cedera, dan produktivitas. 

Tantangannya: banyak pabrik/kontraktor yang “bikin kantin” asal ada, tapi menunya asal, higienitas setengah hati, jam operasional nggak sinkron sama shift, dan nggak ada audit kebersihan/kalori. Kalau cuma ngejar formalitas, ya hasilnya juga formalitas.

Solusi praktis yang bisa kamu cobain:

  1. Tetapkan KPI “kantin sehat”: (a) skor audit higiene bulanan, (b) kesesuaian gizi menu (contoh: komposisi karbo/protein/sayur), (c) tingkat pemanfaatan pekerja per shift, (d) keluhan pencernaan/foodborne (target <0,5% per bulan).
  2. Sinkronisasi jam layanan dengan pola shift. Banyak kasus kantin tutup pas pekerja selesai shift malam—hasilnya pekerja cari makanan asal di luar.
  3. Rotasi menu berbasis analitik pembelian: stop sajian yang consistently nggak laku; tambah menu yang meningkatkan satiety (protein, serat) biar pekerja nggak “crash” di jam kritis.
  4. Audit vendor: minta bukti rantai dingin, log suhu, sertifikasi laik higiene.
  5. Lakukan quick survey 3 pertanyaan tiap 2 minggu (rasa, kebersihan, energi setelah makan). Ambang tindakan saat skor <4/5 selama dua siklus.

Bisnis angle (buat klienmu): tonjolkan ini sebagai “K3 yang terasa”—link-kan ke penurunan kelelahan, kestabilan energi, dan turunnya near-miss akibat low blood sugar di jam akhir shift. Tambah signage “Kenapa menu ini?” yang nerangin alasan gizi—bukan sekadar daftar harga.

Closing kerasnya: SE ini momentum, tapi yang bikin beda adalah eksekusi berbasis data. Bukan poster “Kantin Sehat”—melainkan angka absensi membaik dan keluhan pencernaan turun selama 90 hari.